Sabtu, 22 April 2017

3. KEPEMIMPINAN


1.     Definisi kepemimpinan
Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Kepemimpinan di katakan juga sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok.Tiga implikasi penting dalam hal ini yaitu :
1.      Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut
2.      Kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya
3.      Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda untuk memengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara. (Rivai, Veithzal, dan Deddy Mulyadi. 2013)

2.     Pentingnya kepemimpinan dalam perusahaan
Kiranya tidak dapat disangkal bahwa keberhasilan suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam suatu organisasi tertentu, sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan. Bahkan kiranya dapat diterima sebagai suatu “trueisme” apabila dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut menyelenggarakan berbagai kegiatannya.
Hal senada dapat pula di katakan tentang organisasi-organisasi di lingkungan pemerintahan yang tanggung jawab utamanya adalah menyelenggarakan tugas-tugas pengaturan dan pemberian pelayan kepada masyarakat.Mutu peraturan menjadi dasar kerja para anggota aparatur pemerintah sangat ditentukan oleh persepsi, wawasan dan profesionalisme para perumus peraturan perundang-undangan tersebut tentunya kemudian diikuti oleh berbagai kebijaksanaan teknis dan kebijaksanaan operasional sesuai dengan bidang tanggung jawab fungsional masing-masing. Demikian pula halnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat “clientele groups” sesuatu instalasi. Agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yang membutuhkannya dengan cepat dan memuaskan – tanpa mengabaikan kecermatan, ketelitian dan terjaminnya pengamanan kebijaksanaan pemerintah – mutu kepemimpinan memegang peranan yang sangat menentukan. (Siagian, Sondang P.2010)
3.     Fungsi Kepemimpinan dalam perusahaan
1)      Pimpinan sebagai penentu arah
Telah umum di ketahui bahwa setiap oeganisasi, baik di bidang kenegaraan, keniagaan, poliik, sosial dan organisasi kemasyarakatan lainnya, di ciptakan atau dibentuk sebagai wahana untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu, baik yang sifatnya jangka panjang, maupun jangka pendek yang tidak mungkin tercapai apabila diusahakan dicapai oleh anggotanya yang bertindak sendiri-sendiri.

Tergantung [ada jenjang hirarki jabatan pimpinan yang diduduki oleh seseotang dalam suatu organisasi, keputusan yang di ambil dalam organisasi dapat di golongkan sebagai :
a.       Keptusan strategik,
b.      Keputusan yang bersifat taktik,
c.       Keputusan yang berisfat teknis,
d.      Keputusan operasional.
Jelas bahwa semakin tinggi kedudukan kepemimpinan yang diduduki oleh seseorang dalam organisasi, nilai dan bobot strategik dari keputusan yang di ambilnya semakin besar, satu keputusan strategik mempunyai beberapa ciri pokok, seperti :
a.       jangka waktunya jauh ke depan,
b.      dampaknya terhadap kehidupan organisasional kuat,
c.       cakupannya bersifat menyeluruh karena menyuntuh seluruh segi dan tingkat organisasi.
sebaliknya, semakin rendah kedudukan seseorang dalam suatu organisasi, keputusan yang di ambilnya pun lebih mengarah kepada hal-hal yang eknis operasional dengan beberapa ciri pokok seperti :
a.       jangka waktunya yang semakin pendek,
b.      dampaknya hanya di rasakan kuat secara inkremental,
c.       cakupannya terbatas dan hanya menyangkut segi-segi atau bagian-bagian tertentu saja dari organisasi.
Perlu di tekankan bahwa pada tingkat kepemimpinan puncak sekali pun seseorang teteap mengambil keputusan operasional, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Sebaliknya seorang pimpinan tingkat rendah mengambil pula keputusan yang sifatnya strategik, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil.
2)      Pimpinan sebagai wakil dan juru bicara organisasi
Kebijaksanaan dan kegiatan organisasi perlu di jelaskan kepada bebagai pihak tersebut di maksud agar berbagai pihak itu mempunyai pengertian yang tepat tentang kehidupan organisasional perusahaan yang bersangkutan.  Pengertian yang tepat diharapkan bermuara pada pemahaman dan pemberian dukungan yang diperlukan, bertolak dari kepercayaan terhadap kemampuan organisasi memenuhi berbagai kepentingan yang diwakili oleh pihak-pihak yang berkepentingan itu.Yang paling bertanggung jawab untuk berperan sebagai wakil dan juru bicara perusahaan dalam hubungan dengan berbagai pihak tersebut adalah pimpinan perusahaan.
Sebagai wakil dan juru biacar resmi organisasi, fungsi pimpinan tidak terbatas pada pemeliharaan hubungan yang baik saja, tetapi harus membuahkan perolehan dukungan yang di perlukan oleh organisasi dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya.

3)      Pimpinan sebagai komunikator yang efektif
Tidak dapat di sangkal bahwa salah satu fungsi pimpinan yang bersifar hakiki adalah berkomunikasi secara efektif. Demikian pentingnya komunikasi yang efektif itu dalam usaha peningkatan kemampuan seorang pemimpin sehingga dapat di katakan bahwa penguasaan teknik-teknik komunikasi dengan baik merupakan conaitto sine qua non  bagi setiap pejabat pimpinan.
4)      Pimpinan sebagai mediator
Dalam kehidupan organisasional, selalu saja ada situasi konflik yang harus diatasi, baik dalam hubungan ke luar maupun dalam hubungan ke dalam organisasi. Pembahasan tentang fungsi pimpinan sebagai mediator difokuskan pada penyelesaian situasi konflik yang mungkin timbul dalam satu organisasi, tanpa mengurangi pentingnya situasi konflik yang mungkin timbul dalam hubungan keluar dihadapi dan diatasi.
Dalam satu organisasi dapat timbul situasi konflik dan faktor-faktor penyebabnya pun dapat beraneka ragam. Situasi konflik biasanya timbul karena tiga faktor utama yaitu :
a)      Persepsi subjektif tentang kemungkinan timbulnya tantangan dari pihak lain dalam organisasi,
b)      Kelangkaan sumber daya dan dana,
c)      Adanya asumsi bahwa dalam organisasi terdapat berbagai kepentingan yang di perkirakan tidak dapat atau sulit diserasikan.
Teori yang telah dikembangkan dewasa ini memberikan petunjuk tentang adanya lima teknik atau cara yang dapat digunakan oleh seorang pimpinan selaku mediator dalam menangani konflik yang timbul, baik antara individu yang tergabung dalam satu kelompok kerja maupun antara berbagai kelompok yang terdapat dalam organisasi. Teknik atau cara tersebut ialah :
a.       Kompetisi,
b.      Kolaborasi,
c.       Kompromi,
d.      Pengelakan,
e.       Akomodasi

5)      Peranan selaku integrator
Seorang pimpinan yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya sudah barang tentu tidak akan membiarkan cara berpikir dan bertindak semakin demikian karena organisasi diharapkan mampu mencapai tujuannya dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan perduktivitas yang tinggi hanyalah organisasi yang bergerak sebagai satu totalitas. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa sautu organisasi modern akan disusun dalam suatu struktur yang menggambarkan fungsi, tugas dan kegiatan yang beraneka ragam, keanekaragaman itu tidak menghilangkan perlunya interaksi, interrelasi dan interpedensi yang didasarkan pada prinsip symbiosis mutualis. Artinya, dalam satu organisasi tidak ada tujuan atau sasaran kelompok yang bersifat mutually exclusive. (Siagian, Sondang P.2010)
4.     Gaya kepemimpinan dan implikasinya pada perusahaan

1)      Tipe yang Otokratik
Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang yang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang benarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinter pretasikannya sebagai kenyataan. Misalnya, dalam menginterpretasikan disiplin para bawahan dalam organisasi. Seorang pemimpin yang otokratik akan menerjemahkan disiplin kerja yang tinggi yang di tunjukkan oleh para bawahannya sebagai perwujudan kesetiaan para bawahan itu kepadanya, pada hal sesungguhnya disiplin kerja itu didasarkan kepada ketakutan, bukan kesetiaan. Egonya yang sangat besar menumbuhkan dan mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadinya dan oleh karenanya organisasi diperlakukannya sebagai alat untuk mencapai tujua pribadi tersebut.
2)      Tipe yang Paternalistik
Persepsi seorang pemimpin yang partenalistik tentang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan para pengikutnya kepadanya. Harapan itu pada umumnya berwujud keinginan agar pemimpin mereka mampu berperan sebagai bapak yang bersifat melindungi dan yang layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan untuk memperoleh petunjuk.
Di tinjau dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, biasanya seorang pemimpin yang paternalistik mengutamakan kebersamaan. Nilai demikian biasanya terungkap dalam kata-kata seperti “seluruh anggota organisasi adalah anggota satu keluarga besar” dan pernyataan-pernyataan lain yang sejenis. Berdasarkan nilai kebersamaan itu, dalam organisasi yang di pimpin oleh seorang pemimpin yang paternalistik kepentingan bersama dan perlakuan yang seragam terlihat menonjol pula. Artinya pemimpin yang bersangkutan berusaha untuk memperlakukan semua orang dan semua satuan kerja yang terdapat di dalam organisasi seadil dan serata mungkin. Dalam organisasi demikian tidak terdapat penonjolan orang atau kelompok tertentu, kecuali sang pemimpin dengan dominasi keberadaannya yang telah disinggung di muka.
3)      Tipe yang Karismatik
Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi.
Sesungguhnya sangat menarik untuk memperhatikan bahwa para pengikut seorang pemimpin yang kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan perilaku serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang diikutinya itu. Bisa saja seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang otokratik atau diktatorial, para pengikutnya tetap setia kepadanya. Mungkin pula seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang patenalistik, tetap ia tidak kehilangan daya pikatnya. Daya tariknya pun tetap besar bila ia menggunakan gaya yang demokratik atau partisipatif.
4)      Tipe yang Laissez Faire
Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire  tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pimpinan tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional. Singkatnya, seorang pemimpin laissez faire  melihat peranannya sebagai “polisi lalu lintas”. Dengan anggapan bahwa para anggota organisasi sudah mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, seorang pemimpin yang leissez faire cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.
5)      Tipe yang Demokratik
Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas. Karena itu pendekatannya dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya adalah pendekatan yang holistik dan integralistik. Seorang pemimpin yang demokratik biasanya menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan dan berbagi sasaran organisasi. Akan tetapi dia mengetahui pula bahwa perbedaan tugas dan kegiatan, yang sering bersifat spesialistik itu, tidak boleh dibiarkan menimbulkan cara berpikir dan cara bertindak yang berkotak-kotak. Singkatnya, Seorang pemimpin yang demokratik melihat bahwa dalam perbedaan-perbedaan yang merupakan kenyataan hidup, harus terjamin kebersamaan. (Siagian, Sondang P.2010)


Ø DAFTAR PUSTAKA

1.      Rivai, Veithzal, dan Deddy Mulyadi. 2013.”Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi”.Jakarta: Rajawali Pers

2.      Siagian, Sondang P.2010. “Teori & Praktik Kepemimpinan”.Jakarta:Rineka Cipta.

Selasa, 04 April 2017

2. FRANCHISING


1.     Definisi franchising

Pengertian Franchise (Waralaba) menurut David J. Kaufamaan adalah sistem pemasaran dan distribusi yang di jalankan oleh suatu institusi bisnis kecil yang memiliki jaminan dengan membayar sejumlah uang, memperoleh hak terhadap akses pasar yang di jalankan dengan standar operasi yang mapan di dalam pengawasan asistensi franchisor.

Menurut Campbell Black, Pengertian Franchise (Waralaba) ialah suatu lisensi merek yang di berikan oleh pemilik yang mengizinkan kepada orang lain guna menjual produk berupa barang atau jasa atas nama merek tersebut (suharnoko,2004)

Perusahaan waralaba atau franchise di lakukan pada berbagai produk dan jasa seperti         minuman, makanan cepat saji. es krim, jasa cuci (laundry), hotel, dan sebagainya. (Machfeedz,2007)

Franchising telah menjadi istilah yang sangat populer. Secara singkat, ia digunakan untuk menunjukkan apa yang sebelumnya sering disebut sebagai pengaturan lisensi. Dalam arti yang populer, ada karakter dagang di mana seorang yang terkenal, atau suatu karakter yang telah tercipta, memberikan franchise (lisensi) kepada orang lain, yang dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama. (Mendelsohn,1993)

Pengaturan-pengaturan itu sudah cukup umum. Mereka telah digunakan oleh kita selama bertahun-tahun dan tidak ada perubahan ada hubungan tradisional tersebut yang membuat hubungan tersebut lebih di sebut franchise, daripada disebut sebagai perjanjian keagenaan, perjanjian distribusi, atau pun perjanjian lisensi. (Mendelsohn,1993)

2.     Bentuk-bentuk kepemilikan franchising
Brayce Webster mengemukakan ada tiga bentuk dari Waralaba (franchising), yaitu :
1.      Product franchisinng
      Product franchising adalah suatu franchise, yang franchisor-nya memberikan lisensi kepada franchisee untuk menjual barang hasil produksinya. Franchisee berfungsi sebagai distributor produk franchisor. sering kali terjadi franchisee diberi hak eksklusif untuk memasarkan produk tersebut di suatu wilayah tertentu. Misalnya dealer mobil, stasiun pompa bensin.

2.      Manufacturing franchises
     Manufacturing franchise memberikan know-how dari suatu proses produksi. franchisee memasarkan barang-barang itu dengan standar produksi dan merek yang sama dengan yang miliki franchisor. Bentuk franchise semacam ini banyak digunakan dalam produksi dan distribusi minuman soft drink, seperti Cola Cola dan Pepsi.

3.      Business format franchising
      Business format franchising adalah suatu bentuk franchise yang franchisee-nya mengoprasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchisee harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan berada dibawah pengawaan franchisor dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, persyaratan karyawan, dan lain-lain. Sehingga franchisor memberikan seluruh konsep bisnis yang meliputi strategi pemasaran, pedoman dan standar pengoperasian usaha dan bantuan dalam mengoperasikan franchise. Sehingga franchisee memiliki identitas yang tidak terpisahkan dari franchisor (David, 1995).

Selain ketiga bentuk diatas, di Indonesia juga mulai berkembang group tranding franchise, yang menunjukan pada pemberian hak toko grosir maupun pengecer.

Ø Kontrak Waralaba
Kontrak Waralaba (Franchise) berada diantara kontrak lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang Hak Milik Intelektual atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Sedangkan di lain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk pemegang lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor. (Salim, 2003).

Pemegang Waralaba (Franchise) wajib membayar sejumlah royalti untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan bardasarkan perjanjian. Royalti kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase keuntungan melainkan dari beberapa unit. Dalam hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchisee untung atau tidak. Disamping harus membayar royalti, pihak pemegang franchise harus mendesain perusahaannya sedemikian rupa sehingga mirip dengan perusahaan franchisor. Begitu pula dengan manajemen, tidak jarang franchisor juga memberikan asistensi dalam manajemen.

Dalam hal demikian pemegang franchise perlu membayar fee tersendiri untuk asistensi tersebut. Tidak jarang pula franchisor dalam keperluan pembuatan produknya mewajibkan pemegang franchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk franchisor. Hal itu dalam hukum kontrak disebut sebagai tying-in agreement. Bahkan kadang-kadang pemegang franchise berdasarkan kontrak membolehkan franchisor melakukan auditing terhadap keuangan franchisee. Semua ini diwajibkan oleh franchisor dengan alasan quality control. Namun di lain pihak, melalui kontrak lisensi maupun franchise diharapkan terjadinya alih teknologi antara licensor/franchisor terhadap license/franchisee.

Bentuk Waralaba (Franchise) menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/ 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba adalah berbentuk tertulis.
Sifat perjanjian Waralaba (Franchise) (agreement franchise) adalah, sebagai berikut :
1.      Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal agreement)
2.      Memberi kemungkinan pewaralaba/franchisor tetap mempunyai hak atas nama dagang dan atau merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut.
3.      Memberikan kemungkinan pewaralaba/ franchisor mengendalikan sistem usaha yang dilinsensikannya.
4.      Hak, Kewajiban, dan tugas masing-masing pihak dapat diterima pewaralaba/franchisee. (Salim, 2003).


3.     Resiko investasi dalam usaha franchising

·        Keuntungan-keuntungan bagi Franchisor
1.      Franchise merupakan suatu organisasi sentral kecil yang terdiri dari beberapa manajer yang berpengalaman luas dan mengkhususkan pada berbagai macam aspek bisnis yang menjadi perhatian organisasi tersebut. Organisasi semacam ini dapat menghasilkan keuntungan yang memadai tanpa perlu terlibat dengan resiko modal yang tinggi maupun dengan masalah-masalah dan detail sehari hari yang timbul di dalam manajemen outlet eceran yang kecil.
2.      Tidak ada kebutuhan untuk menyuntikkan sejumlah besar modal untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan yang besar. Masing-masing outlet yang terbuka memanfaatkan sumber daya finansial dari setiap franchisee.
3.      Organisasi franchisor mempunyai kemampuan untuk memperluas jaringan secara lebih cepat pada tingkat nasional dan tentunya pun internasional dengan menggunakan modal yang risikonya seminimal mungkin.
4.      Juga lebih mudah bagi franchisor untuk mengeksploitasi wilayah yang belum masuk dalam lingkungan organisasinya sebagai franchisee.
5.      Franchisor tidak memiliki aset outlet dagang sendiri, dan tanggung jawab bagi aset tersebut diserahkan pada franchisee yang memilikinya. (Mendelsohn,1993)

·        Kerugiaan-Kerugiaan bagi Franchisor
1.      Seorang Franchisor harus memiliki keyakinan untuk menjamin bahwa standar kualitas barang dan jasa dijaga melalui rantai franchise. Ia harus menyediakan staf pendukung lapangan yang akan bertindak sebagai penyelia dari standar-standar tersebut, juga sebagai franchisee pembantu untuk mengatasi masalah.
2.      kemungkinan timbulnya kekurang-percayaan di antara franchisor dan franchisee berasal dari ketidakseimbangan di antara franchise dan individu-individu dalam organisasi franchise dengan pihak-pihak yang harus di hubunginya.
3.      Mungkin ada kesulitan untuk mendapatkan kerjasama dari Franchisee dalam mendekorasi dan merenovasi tempat-tempatnya, memperbarui perlengkapannya, atau dalam menyesuaikan dengan standar lain agar masyarakat selalu di beri pelayanan sesuai dengan cara yang di tetapkan dalam perjanjian franchise dan konsisten dengan citra merek milik franchisor.
4.      Masalah-masalah juga bisa timbul apabila bisnis yang di franchisekan menjadi bagian dari bisnis yang lebih besar yang di laksanakan oleh franchisee. Hal ini sering digambarkan sebagai franchise fraksional (misalnya, penyewaan mobil dalam bisnis garasi.). Langkah-langkah harus di ambil untuk mencegah interaksi yang merugikan dan konflik-konflik di antara staf dari dua tipe bisnis tersebut yang mungkin menimbulkan kerusakan pada salah satu, atau kedua-duanya. Bisnis franchise harus juga dijaga sebagai suatu kesatuan yang terpisah untuk menjamin integritas dan identitas kemasyarakatannya.
5.      Kemungkinan terdapat kesulitan-kesulitan dalam rekrutmen orang-orang yang cocok sebagai franchisee untuk bisnis tertentu. (Mendelsohn,1993)


Ø Daftar Pustaka
1.      Suharnoko.2004. “Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus)”.Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group.
2.      Macgfoedz mahmud.2007. “Pengantar Bisnis Modern”. yogyakarta : C.V Andi Offset.
3.      Mendelsohn martin.1993.”Franchising: Petunjuk praktis bagi Franchisor dan Franchisee.”:PT pustaka presindo dan institut pendidikan dan pembinaan manajemen dan di bantu oleg Asosiasi Franchise Indonesia.
4.      David Hess, “The Lowa Franchise Act : Toward Protecting Reasonable Expectations of Franchisees and Franchisors”, Vol 80. Januari 1995.
5.      Salim H.S, ”Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. Cet. Pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003.