1.
Definisi
franchising
Pengertian Franchise (Waralaba)
menurut David J. Kaufamaan adalah
sistem pemasaran dan distribusi yang di jalankan oleh suatu institusi bisnis
kecil yang memiliki jaminan dengan membayar sejumlah uang, memperoleh hak
terhadap akses pasar yang di jalankan dengan standar operasi yang mapan di
dalam pengawasan asistensi franchisor.
Menurut
Campbell Black, Pengertian Franchise (Waralaba) ialah suatu lisensi merek yang di
berikan oleh pemilik yang mengizinkan kepada orang lain guna menjual produk
berupa barang atau jasa atas nama merek tersebut (suharnoko,2004)
Perusahaan
waralaba atau franchise di lakukan
pada berbagai produk dan jasa seperti minuman, makanan cepat saji. es krim,
jasa cuci (laundry), hotel, dan
sebagainya. (Machfeedz,2007)
Franchising
telah menjadi istilah yang sangat populer. Secara singkat, ia digunakan untuk
menunjukkan apa yang sebelumnya sering disebut sebagai pengaturan lisensi.
Dalam arti yang populer, ada karakter dagang di mana seorang yang terkenal,
atau suatu karakter yang telah tercipta, memberikan franchise (lisensi) kepada
orang lain, yang dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah
nama. (Mendelsohn,1993)
Pengaturan-pengaturan
itu sudah cukup umum. Mereka telah digunakan oleh kita selama bertahun-tahun
dan tidak ada perubahan ada hubungan tradisional tersebut yang membuat hubungan
tersebut lebih di sebut franchise, daripada disebut sebagai perjanjian
keagenaan, perjanjian distribusi, atau pun perjanjian lisensi.
(Mendelsohn,1993)
2.
Bentuk-bentuk
kepemilikan franchising
Brayce
Webster mengemukakan ada tiga bentuk dari Waralaba (franchising), yaitu :
1.
Product
franchisinng
Product
franchising adalah suatu franchise, yang franchisor-nya memberikan lisensi
kepada franchisee untuk menjual
barang hasil produksinya. Franchisee berfungsi
sebagai distributor produk franchisor. sering
kali terjadi franchisee diberi hak
eksklusif untuk memasarkan produk tersebut di suatu wilayah tertentu. Misalnya
dealer mobil, stasiun pompa bensin.
2.
Manufacturing
franchises
Manufacturing franchise
memberikan know-how dari suatu proses
produksi. franchisee memasarkan
barang-barang itu dengan standar produksi dan merek yang sama dengan yang
miliki franchisor. Bentuk franchise semacam ini banyak digunakan
dalam produksi dan distribusi minuman soft
drink, seperti Cola Cola dan Pepsi.
3.
Business
format franchising
Business
format franchising adalah suatu bentuk franchise yang franchisee-nya
mengoprasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama franchisor. Sebagai
imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchisee harus mengikuti
metode-metode standar pengoperasian dan berada dibawah pengawaan franchisor
dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat
usaha, jam penjualan, persyaratan karyawan, dan lain-lain. Sehingga franchisor
memberikan seluruh konsep bisnis yang meliputi strategi pemasaran, pedoman dan
standar pengoperasian usaha dan bantuan dalam mengoperasikan franchise.
Sehingga franchisee memiliki identitas yang tidak terpisahkan dari franchisor
(David, 1995).
Selain
ketiga bentuk diatas, di Indonesia juga mulai berkembang group tranding
franchise, yang menunjukan pada pemberian hak toko grosir maupun pengecer.
Ø Kontrak Waralaba
Kontrak Waralaba (Franchise) berada
diantara kontrak lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang
Hak Milik Intelektual atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk menggunakan
merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Sedangkan
di lain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap
produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk pemegang
lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor.
(Salim, 2003).
Pemegang Waralaba (Franchise) wajib membayar sejumlah royalti untuk penggunaan merek
dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan bardasarkan
perjanjian. Royalti kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase keuntungan
melainkan dari beberapa unit. Dalam hal demikian pihak franchisor tidak peduli
apakah pemegang franchisee untung atau tidak. Disamping harus membayar royalti,
pihak pemegang franchise harus mendesain perusahaannya sedemikian rupa sehingga
mirip dengan perusahaan franchisor. Begitu pula dengan manajemen, tidak jarang
franchisor juga memberikan asistensi dalam manajemen.
Dalam hal demikian pemegang franchise perlu membayar fee tersendiri untuk asistensi tersebut.
Tidak jarang pula franchisor dalam keperluan pembuatan produknya mewajibkan
pemegang franchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk
franchisor. Hal itu dalam hukum kontrak disebut sebagai tying-in agreement. Bahkan kadang-kadang pemegang franchise
berdasarkan kontrak membolehkan franchisor
melakukan auditing terhadap keuangan franchisee.
Semua ini diwajibkan oleh franchisor dengan alasan quality control. Namun di
lain pihak, melalui kontrak lisensi maupun franchise diharapkan terjadinya alih
teknologi antara licensor/franchisor
terhadap license/franchisee.
Bentuk Waralaba (Franchise) menurut Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan
Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/ 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba adalah berbentuk tertulis.
Sifat
perjanjian Waralaba (Franchise) (agreement
franchise) adalah, sebagai berikut :
1. Suatu
perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal
agreement)
2. Memberi
kemungkinan pewaralaba/franchisor tetap mempunyai hak atas nama dagang dan atau
merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus yang dikembangkannya untuk
suksesnya usaha tersebut.
3. Memberikan
kemungkinan pewaralaba/ franchisor
mengendalikan sistem usaha yang dilinsensikannya.
4. Hak,
Kewajiban, dan tugas masing-masing pihak dapat diterima pewaralaba/franchisee. (Salim,
2003).
3.
Resiko
investasi dalam usaha franchising
·
Keuntungan-keuntungan
bagi Franchisor
1. Franchise
merupakan suatu organisasi sentral kecil yang terdiri dari beberapa manajer
yang berpengalaman luas dan mengkhususkan pada berbagai macam aspek bisnis yang
menjadi perhatian organisasi tersebut. Organisasi semacam ini dapat
menghasilkan keuntungan yang memadai tanpa perlu terlibat dengan resiko modal
yang tinggi maupun dengan masalah-masalah dan detail sehari hari yang timbul di
dalam manajemen outlet eceran yang kecil.
2. Tidak
ada kebutuhan untuk menyuntikkan sejumlah besar modal untuk meningkatkan
kecepatan pertumbuhan yang besar. Masing-masing outlet yang terbuka
memanfaatkan sumber daya finansial dari setiap franchisee.
3. Organisasi
franchisor mempunyai kemampuan untuk memperluas jaringan secara lebih cepat pada
tingkat nasional dan tentunya pun internasional dengan menggunakan modal yang
risikonya seminimal mungkin.
4. Juga
lebih mudah bagi franchisor untuk mengeksploitasi wilayah yang belum masuk
dalam lingkungan organisasinya sebagai franchisee.
5. Franchisor
tidak memiliki aset outlet dagang sendiri, dan tanggung jawab bagi aset
tersebut diserahkan pada franchisee yang memilikinya. (Mendelsohn,1993)
·
Kerugiaan-Kerugiaan
bagi Franchisor
1. Seorang
Franchisor harus memiliki keyakinan untuk menjamin bahwa standar kualitas
barang dan jasa dijaga melalui rantai franchise. Ia harus menyediakan staf
pendukung lapangan yang akan bertindak sebagai penyelia dari standar-standar
tersebut, juga sebagai franchisee pembantu untuk mengatasi masalah.
2. kemungkinan
timbulnya kekurang-percayaan di antara franchisor dan franchisee berasal dari
ketidakseimbangan di antara franchise dan individu-individu dalam organisasi
franchise dengan pihak-pihak yang harus di hubunginya.
3. Mungkin
ada kesulitan untuk mendapatkan kerjasama dari Franchisee dalam mendekorasi dan
merenovasi tempat-tempatnya, memperbarui perlengkapannya, atau dalam
menyesuaikan dengan standar lain agar masyarakat selalu di beri pelayanan
sesuai dengan cara yang di tetapkan dalam perjanjian franchise dan konsisten
dengan citra merek milik franchisor.
4. Masalah-masalah
juga bisa timbul apabila bisnis yang di franchisekan menjadi bagian dari bisnis
yang lebih besar yang di laksanakan oleh franchisee. Hal ini sering digambarkan
sebagai franchise fraksional (misalnya, penyewaan mobil dalam bisnis garasi.).
Langkah-langkah harus di ambil untuk mencegah interaksi yang merugikan dan
konflik-konflik di antara staf dari dua tipe bisnis tersebut yang mungkin
menimbulkan kerusakan pada salah satu, atau kedua-duanya. Bisnis franchise
harus juga dijaga sebagai suatu kesatuan yang terpisah untuk menjamin
integritas dan identitas kemasyarakatannya.
5. Kemungkinan
terdapat kesulitan-kesulitan dalam rekrutmen orang-orang yang cocok sebagai
franchisee untuk bisnis tertentu. (Mendelsohn,1993)
Ø Daftar Pustaka
1. Suharnoko.2004.
“Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus)”.Jakarta : Penerbit Kencana Prenada
Media Group.
2. Macgfoedz
mahmud.2007. “Pengantar Bisnis Modern”. yogyakarta : C.V Andi Offset.
3. Mendelsohn
martin.1993.”Franchising: Petunjuk praktis bagi Franchisor dan Franchisee.”:PT
pustaka presindo dan institut pendidikan dan pembinaan manajemen dan di bantu
oleg Asosiasi Franchise Indonesia.
4. David
Hess, “The Lowa Franchise Act : Toward Protecting Reasonable Expectations of
Franchisees and Franchisors”, Vol 80. Januari 1995.
5. Salim
H.S, ”Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. Cet. Pertama, Sinar
Grafika Offset, Jakarta, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar