Selasa, 04 April 2017

2. FRANCHISING


1.     Definisi franchising

Pengertian Franchise (Waralaba) menurut David J. Kaufamaan adalah sistem pemasaran dan distribusi yang di jalankan oleh suatu institusi bisnis kecil yang memiliki jaminan dengan membayar sejumlah uang, memperoleh hak terhadap akses pasar yang di jalankan dengan standar operasi yang mapan di dalam pengawasan asistensi franchisor.

Menurut Campbell Black, Pengertian Franchise (Waralaba) ialah suatu lisensi merek yang di berikan oleh pemilik yang mengizinkan kepada orang lain guna menjual produk berupa barang atau jasa atas nama merek tersebut (suharnoko,2004)

Perusahaan waralaba atau franchise di lakukan pada berbagai produk dan jasa seperti         minuman, makanan cepat saji. es krim, jasa cuci (laundry), hotel, dan sebagainya. (Machfeedz,2007)

Franchising telah menjadi istilah yang sangat populer. Secara singkat, ia digunakan untuk menunjukkan apa yang sebelumnya sering disebut sebagai pengaturan lisensi. Dalam arti yang populer, ada karakter dagang di mana seorang yang terkenal, atau suatu karakter yang telah tercipta, memberikan franchise (lisensi) kepada orang lain, yang dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama. (Mendelsohn,1993)

Pengaturan-pengaturan itu sudah cukup umum. Mereka telah digunakan oleh kita selama bertahun-tahun dan tidak ada perubahan ada hubungan tradisional tersebut yang membuat hubungan tersebut lebih di sebut franchise, daripada disebut sebagai perjanjian keagenaan, perjanjian distribusi, atau pun perjanjian lisensi. (Mendelsohn,1993)

2.     Bentuk-bentuk kepemilikan franchising
Brayce Webster mengemukakan ada tiga bentuk dari Waralaba (franchising), yaitu :
1.      Product franchisinng
      Product franchising adalah suatu franchise, yang franchisor-nya memberikan lisensi kepada franchisee untuk menjual barang hasil produksinya. Franchisee berfungsi sebagai distributor produk franchisor. sering kali terjadi franchisee diberi hak eksklusif untuk memasarkan produk tersebut di suatu wilayah tertentu. Misalnya dealer mobil, stasiun pompa bensin.

2.      Manufacturing franchises
     Manufacturing franchise memberikan know-how dari suatu proses produksi. franchisee memasarkan barang-barang itu dengan standar produksi dan merek yang sama dengan yang miliki franchisor. Bentuk franchise semacam ini banyak digunakan dalam produksi dan distribusi minuman soft drink, seperti Cola Cola dan Pepsi.

3.      Business format franchising
      Business format franchising adalah suatu bentuk franchise yang franchisee-nya mengoprasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchisee harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan berada dibawah pengawaan franchisor dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, persyaratan karyawan, dan lain-lain. Sehingga franchisor memberikan seluruh konsep bisnis yang meliputi strategi pemasaran, pedoman dan standar pengoperasian usaha dan bantuan dalam mengoperasikan franchise. Sehingga franchisee memiliki identitas yang tidak terpisahkan dari franchisor (David, 1995).

Selain ketiga bentuk diatas, di Indonesia juga mulai berkembang group tranding franchise, yang menunjukan pada pemberian hak toko grosir maupun pengecer.

Ø Kontrak Waralaba
Kontrak Waralaba (Franchise) berada diantara kontrak lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang Hak Milik Intelektual atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Sedangkan di lain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk pemegang lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor. (Salim, 2003).

Pemegang Waralaba (Franchise) wajib membayar sejumlah royalti untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan bardasarkan perjanjian. Royalti kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase keuntungan melainkan dari beberapa unit. Dalam hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchisee untung atau tidak. Disamping harus membayar royalti, pihak pemegang franchise harus mendesain perusahaannya sedemikian rupa sehingga mirip dengan perusahaan franchisor. Begitu pula dengan manajemen, tidak jarang franchisor juga memberikan asistensi dalam manajemen.

Dalam hal demikian pemegang franchise perlu membayar fee tersendiri untuk asistensi tersebut. Tidak jarang pula franchisor dalam keperluan pembuatan produknya mewajibkan pemegang franchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk franchisor. Hal itu dalam hukum kontrak disebut sebagai tying-in agreement. Bahkan kadang-kadang pemegang franchise berdasarkan kontrak membolehkan franchisor melakukan auditing terhadap keuangan franchisee. Semua ini diwajibkan oleh franchisor dengan alasan quality control. Namun di lain pihak, melalui kontrak lisensi maupun franchise diharapkan terjadinya alih teknologi antara licensor/franchisor terhadap license/franchisee.

Bentuk Waralaba (Franchise) menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/ 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba adalah berbentuk tertulis.
Sifat perjanjian Waralaba (Franchise) (agreement franchise) adalah, sebagai berikut :
1.      Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal agreement)
2.      Memberi kemungkinan pewaralaba/franchisor tetap mempunyai hak atas nama dagang dan atau merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut.
3.      Memberikan kemungkinan pewaralaba/ franchisor mengendalikan sistem usaha yang dilinsensikannya.
4.      Hak, Kewajiban, dan tugas masing-masing pihak dapat diterima pewaralaba/franchisee. (Salim, 2003).


3.     Resiko investasi dalam usaha franchising

·        Keuntungan-keuntungan bagi Franchisor
1.      Franchise merupakan suatu organisasi sentral kecil yang terdiri dari beberapa manajer yang berpengalaman luas dan mengkhususkan pada berbagai macam aspek bisnis yang menjadi perhatian organisasi tersebut. Organisasi semacam ini dapat menghasilkan keuntungan yang memadai tanpa perlu terlibat dengan resiko modal yang tinggi maupun dengan masalah-masalah dan detail sehari hari yang timbul di dalam manajemen outlet eceran yang kecil.
2.      Tidak ada kebutuhan untuk menyuntikkan sejumlah besar modal untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan yang besar. Masing-masing outlet yang terbuka memanfaatkan sumber daya finansial dari setiap franchisee.
3.      Organisasi franchisor mempunyai kemampuan untuk memperluas jaringan secara lebih cepat pada tingkat nasional dan tentunya pun internasional dengan menggunakan modal yang risikonya seminimal mungkin.
4.      Juga lebih mudah bagi franchisor untuk mengeksploitasi wilayah yang belum masuk dalam lingkungan organisasinya sebagai franchisee.
5.      Franchisor tidak memiliki aset outlet dagang sendiri, dan tanggung jawab bagi aset tersebut diserahkan pada franchisee yang memilikinya. (Mendelsohn,1993)

·        Kerugiaan-Kerugiaan bagi Franchisor
1.      Seorang Franchisor harus memiliki keyakinan untuk menjamin bahwa standar kualitas barang dan jasa dijaga melalui rantai franchise. Ia harus menyediakan staf pendukung lapangan yang akan bertindak sebagai penyelia dari standar-standar tersebut, juga sebagai franchisee pembantu untuk mengatasi masalah.
2.      kemungkinan timbulnya kekurang-percayaan di antara franchisor dan franchisee berasal dari ketidakseimbangan di antara franchise dan individu-individu dalam organisasi franchise dengan pihak-pihak yang harus di hubunginya.
3.      Mungkin ada kesulitan untuk mendapatkan kerjasama dari Franchisee dalam mendekorasi dan merenovasi tempat-tempatnya, memperbarui perlengkapannya, atau dalam menyesuaikan dengan standar lain agar masyarakat selalu di beri pelayanan sesuai dengan cara yang di tetapkan dalam perjanjian franchise dan konsisten dengan citra merek milik franchisor.
4.      Masalah-masalah juga bisa timbul apabila bisnis yang di franchisekan menjadi bagian dari bisnis yang lebih besar yang di laksanakan oleh franchisee. Hal ini sering digambarkan sebagai franchise fraksional (misalnya, penyewaan mobil dalam bisnis garasi.). Langkah-langkah harus di ambil untuk mencegah interaksi yang merugikan dan konflik-konflik di antara staf dari dua tipe bisnis tersebut yang mungkin menimbulkan kerusakan pada salah satu, atau kedua-duanya. Bisnis franchise harus juga dijaga sebagai suatu kesatuan yang terpisah untuk menjamin integritas dan identitas kemasyarakatannya.
5.      Kemungkinan terdapat kesulitan-kesulitan dalam rekrutmen orang-orang yang cocok sebagai franchisee untuk bisnis tertentu. (Mendelsohn,1993)


Ø Daftar Pustaka
1.      Suharnoko.2004. “Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus)”.Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group.
2.      Macgfoedz mahmud.2007. “Pengantar Bisnis Modern”. yogyakarta : C.V Andi Offset.
3.      Mendelsohn martin.1993.”Franchising: Petunjuk praktis bagi Franchisor dan Franchisee.”:PT pustaka presindo dan institut pendidikan dan pembinaan manajemen dan di bantu oleg Asosiasi Franchise Indonesia.
4.      David Hess, “The Lowa Franchise Act : Toward Protecting Reasonable Expectations of Franchisees and Franchisors”, Vol 80. Januari 1995.
5.      Salim H.S, ”Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. Cet. Pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar